More Categories

Cari Blog Ini

Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 21 Juni 2020

Cerpen | Kisah Hujan Bulan Juni




Lamat-lamat, kudengar bunyi cara menjauh dari ruangan tengah. Seperti umumnya, ayah membenci tetapi perlu kabar prediksi cuaca. Tidak lama, kumatikan tv. Kakiku selekasnya ikuti cara ayah ke teras. Hampir jam 1/2 sepuluh, malam itu.

Gemuruh angin ajak air hujan menjejaki hampir setengah lantai teras. Bersisa pojok sempit di dekat jendela. Ada kursi panjang tua memiliki bahan bambu kuning, tempat ayah nikmati kepulan asap kreteknya. Ayah berdiri, waktu melihatku.

"Telah 3 hari!"

"Kan, bulan juni, Yah?"

"Perutku, perut ibumu, perut ayahmu serta dua adikmu, tidak perduli kepentingan bulan!"

Saya terdiam. Tetapi mataku refleks bergerak ikuti puntung kretek yang dilemparkan jari tangan ayah ke halaman. Sekejap kulihat puntung itu terayun bersama-sama kubangan air hujan, sebelum musnah ke selokan.

Ayah menepuk bahuku perlahan. Sebelum bergerak perlahan-lahan kembali pada di rumah.

Saya kaget. Tubuhku selekasnya menghadap sumber suara. Ayah berdiri di pintu ruangan tengah. Matanya menatapku. Satu pergerakan perlahan dagu ayah, memaksaku bergerak memencet tombol off pada pojok kanan bawah tv hitam putih.

"Malam hari ini, tidak perlu dengar kabar!"

"Tetapi..."

"Kau tahu sepanjang hari barusan cerah, kan? Walau sebenarnya tadi malam, dikabarkan hujan."

"Namanya prediksi, Yah! Jadi..."

"Tidak perlu berikan, jika prediksi! Pedagang Es sepertiku perlu kejelasan!"

Katakan ibu, semenjak tadi siang, amarah ayah tersimpan di kamar tidur. Mengurung diri, ialah langkah ayah. Bila demikian, ibu akan merayu adik-adikku akan menjauh dari pintu kamar.

Untuk anak lelaki paling tua, saya ialah target paling mudah. Tidak perduli, bila saya baru pulang dari pabrik es. Kegiatanku sepulang sekolah. Ayah bergerak merapat ke arahku. Tangan kanannya terangkat, perlahan-lahan menyeka kepalaku.

"Kau telah makan?"

"Belum, Yah! Kan, baru pulang?"

"Konsumsilah!'

"Iya, Yah!"

"Esok Ayah harus jualan!"

Seperti hujan. Amarah ayah tidak dapat ditebak. Kadang dinanti tidak segera datang. Tetapi, ditengah-tengah sinar matahari jam satu, bisa tiba mendadak. Atau waktu butirannya mengucur deras menimpa, dapat selekasnya surut.

"Jangan bernada! Ibu ambilkan nasi, kau makan di teras saja!"

Ibu menyambut langkahku yang meloncati kubangan air di halaman. Ke-2 tangan yang mulai berkeriput itu, menarik perlahan tangan kanankumenuju kursi panjang tua di dekat jendela. Dua tangan tangan ini, mendesak bahuku minta duduk.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

"Diamlah. Nantikan ibu di sini."

Ibu bergegas mengambil langkah ke rumah. Gerimis masih berjatuhan isi sunyi malam. Ibu kembali lagi ada dari balik pintu. Ke-2 tangannya berisi. Satu gelas air serta sepiring nasi.

"Konsumsilah, Nak!"

Piring serta gelas beralih tangan. Ibu berrgegas wafatkanku di teras, selanjutnya kembali lagi dengan segelas besar di tangan. Tidak ada kepulan asap nampak. Saya tahu, air teh itu bukan bagiku.

"Untukmu saja!"

"Ayah..."

"Baru saja pergi. Gerobak dihancurkan, gelas-gelas dipecahkan. Di masih amburadul. Ayahmu pergi dengan amarah!"

"Ya Allah! Mamas..."

"Tolong ambilkan handuk!"

1/2 lari, istriku masuk lenyap dari pintu. Serta tergesa ada kembali lagi, berupaya secepat-cepatnya menyekakan handuk ke mukaku. Kurebut handuk dari tangannya, sekalian menyerahkan kantong plastik hitam yang berada di tanganku.

"Ngopi atau teh, Mas?"

"Hanya itu!"

Sekalian tersenyum, telunjuk tangan kanan kuajukan mengarah kantong plastik hitam yang sudah beralih tangan. Sepintas kuusap kepalanya. Langkahku menyusul ke arah kamar mandi.

Saya ketawa serta mengambil duduk di samping istriku. Ke-2 tangannya repot menyalin lima bungkus es campur, ke semangkok besar di meja makan. Sekalian gelengkan kepala, wanita cantik itu menatapku.

"Kan, hujan, Mas?"

"Iya. Sudah tahu! Tetapi Mang Amin, tidak tahu jika hari akan hujan!"

Istriku tentu pahami perkataan itu. Mang Amin, hampir seumuran Ayah. gerobaknya semenjak jam sebelas sampai sore, tetap mangkal di muka kantorku. Tetap ada faktaku, hampir tiap hari bawa pulang dagangan Mang Amin. Ditambah lagi bila hari hujan. 

"Ibu?"

"Beliau di kamar. Barusan ingin shalat ashar."

Saya selekasnya bangun, mengambil langkah perlahan ke arah kamar ibu. Mataku memandang badan tua itu, masih duduk bersimpuh di atas sejadah. Perlahan-lahan muka ibu berpaling menatapku yang berdiri kaku di pintu. Mata tua itu, tidak cuma simpan belasan tahun cedera. airmata.

"Kau masih cari Ayah?"

0 on: "Cerpen | Kisah Hujan Bulan Juni"