More Categories

Minggu, 21 Juni 2020

Perempuan Peramal

- Tidak ada komentar



Dukun ramal itu seharusnya tidak dibutuhkan lagi di jaman saat ini. Tidakkah segala hal dapat diperkirakan dengan nalar serta logika yang semakin logis! Jadi ramalan orang pandai seharusnya sudah dibuang.

"Apa faktamu, tidak yakin, ha?" Itu pertanyaan kakakku, salah satu keluarga yang masih tetap sisa.

Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saya cuma membisu. Entahlah. Saya memang tidak yakin pada ramalan orang pandai tapi insiden untuk insiden di keluargaku pas seperti kata wanita dukun di samping rumahku.

Wanita itu sendirian. Ia cuma ditemani beberapa anjing piaraan. Serta entahlah, semenjak kapan dia mulai tinggal bertetangga denganku. Yang kuingat, wanita itu menjelaskan ibuku akan pergi selama-lamanya. Itu disebutkannya satu minggu sebelum ibuku wafat.

Wanita itu yang menjelaskan ayahku tidak lama lagi akan membuat acara pesta perpisahan tandasan. Serta rupanya satu minggu setelah ucapannya itu, ayahku wafat terikut arus sungai yang membludak saat itu.

Sejak kami tinggal berdua dengan kakak, wanita samping rumahku itu seringkali tiba ke rumah. Wanita umur lima beberapa puluh itu mengharap supaya kami berteman dengannya.

Sebetulnya, kami tidak menampik. Ditambah lagi kakakku yang setiap saat pulang kerja terlihat kesepian. Dengan berkunjungnya wanita itu kakakku jadi nampak ruangan semangat. Bukan oleh wanita itu sebetulnya tapi semakin sebab kakakku senang bermain dengan anjing piaraannya.

Beda betul denganku. Saya tidak senang pada anjing. Sekalinya anjing-anjing piaraan wanita itu terlihat jinak, tapi saya tidak senang.

"Tidak apa-apa, coba raba bulu halusnya ini," kata wanita itu kepadaku sekalian mengelus anjing berbulu kecoklatan. Nency! Demikian, wanita itu menyebut anjing kecintaannya.

Kuperhatikan, Nency memang lain dengan anjing-anjing piaraan yang lain. Nency perangainya terlihat beda. Sorot matanya tajam. Bulunya lembut cemerlang bersih. Bila ditawari makanan, Nency tidak rakus. Tapi saya tidak senang.

"Ayolah, ini Nency ingin ikuti kamu! Lihat matanya, dia mengharap jadi teman dekatmu," kembali lagi wanita itu membujukku.

Saya masih bergerak. Sedikitpun saya tidak merapat. Tapi anjing itu malah menatapku sayu. Serta entahlah kemampuan apakah yang membuatku jadi turut menatapnya.

Perlahan-lahan, anjing itu mendekatiku. Serta cuma dalam hitungan detik, Nency sang anjing kecokelatan itu telah duduk di pangkuanku.

Kakakku yang ada di sampingku berusaha untuk menariknya supaya geser di pangkuanya tapi gagal. Saat Nency ditarik ke pangkuannya, waktu itu Nency meloncat kembali lagi kepadaku.

Dengan malas saya coba membelainya. Wow, bulunya lembut di tangan. Nency juga diam keenakan.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

"Nak, Dila saya titip Nency ya. Ia kelihatannya pas dengan kamu! Ibu ingin pergi. Tolong dirawat, ya!"

Lidahku kelu. Saya tidak dapat berkata apa saja. Mendadak saya tidak berkekuatan untuk menampik. Juga anjing itu betah saat dibiarkan oleh wanita itu.

Anehnya, cuma anjing kecoklatan namanya Nency yang lengket denganku. Anjing lainnya kembali lagi kerumahnya. Itu penyebabnya cuma dalam 3 hari saya serta Nency bisa berteman dekat.

Nency itu tidak sempat menggonggong. Dia tidak garang seperti anjing umumnya. Dia tidak buang kotoran asal-asalan. Entahlah dimana Nency melakukanya, tapi dalam 3 hari dengannya, saya tidak mendapatkan kotorannya tertinggal di dalam rumah.

Pas satu minggu Nency di dalam rumah bersamaku, ada kejanggalan yang kurasakan. Rupanya satu minggu wanita itu tidak bertandang seperti umumnya. Semakin aneh lagi, pagi hari ini.

Nency menarik-narik pakaian tidurku. Saat saya bermalas untuk selalu tidur, Nency makin agresif menarikku. Saya juga mengalah, selekasnya bangun serta mengambil langkah. Saya ikuti ke mana dia pergi.

Dengan tergesa, Nency ajakku masuk rumah wanita itu. Melalui pintu belakang karena pintu depan terkancing rapat. Ternyata, Nancy tahu itu. Serta begitu kagetnya saya katika Nency membimbingku dengan keluarkan suara seperti tangisan.

Wanita itu terbaring kaku. Mukanya teduh tidak lagi menegur saya. Ia wafat sesudah menitipkan Nency padaku satu minggu kemarin.

Pagi hari ini saya harus bersegera ke kebun. Saya harus lihat beberapa petak cabai yang siap diambil. Bila telat cabai itu akan membusuk.

Sebetulnya, saya tidak harus turun ke kebun sendiri. Ada 2 orang upahan yang membantu untuk memanen cabai itu. Tetapi, saya tetap harus mengawasi seperti pesan almarhum ayah dahulu.

Tapi, entahlah pagi hari ini rasa-rasanya berat sekali. Nency tetap mengganggu. Seringkali ia keluarkan suara seperti tangisan.

Ia duduk di muka pintu kamar mandi saat saya akan membersihkan muka. , dia duduk di muka pintu rumah saat saya akan membukanya. Ia tetap menghambat saya. Serta saat saya telah sukses buka pintu serta keluarkan sepeda, Nency lari ke pintu pagar. Dia menggonggong! Ini belum pernah berlangsung.

"Nency!"

Saya memarahi anjing manis itu. Ia selanjutnya menyingkir di samping pintu pagar. Sorot matanya ikhlas beradu dengan sorot mataku. Ia terlihat sedih dengan perlakuanku. Kulihat air matanya berguling. Nency menangis.

Saya tidak mempedulikannya. Sepeda kukayuh cepat telusuri jalan kampung ke arah kebun tempat kami menumpuk keinginan.

Di tikungan paling akhir, sebelum masuk kebun cabai saya harus waspada karena di kananku ada tebing menjulang, sedang di kiriku ada parit seperti kali. Kebun cabai kami berada di lembah bukit.

Waktu sepedaku menikung, mendadak Nency lari secepat kilat dari arah depan. Ia keluarkan suara lengkingan. Sepeda tidak pernah saya hentikan karena sebelum rem kutekan, kulihat bola tanah sebesar rumah menggelinding dari tebing ke arahku.

Serta entahlah apakah yang sebenarnya berlangsung. Cuma sesaat, kulihat beberapa orang kampung banyak yang datang. Mereka dengan cepat singkirkan tanah tebing yang roboh.

"Berhati-hati!"

"Itu terlihat tangannya!"

"Iya, itu tarik pelan-pelan."

Beberapa orang bergotong dengan semangat menyukai sama-sama. Mereka selanjutnya keluarkan badan dari puing-puing tebing tanah. Badan itu telah tidak bergerak. Napas juga tidak. Kulihat kepala serta wajahnya berlumur darah.

"Innalillahi... " terdengar lantunan trenyuh.

"Dila,..." kakakku menghambur menubruk badan berlumur tanah. Kakakku meraung tidak tertahan.

Nency, anjing itu, kulihat duduk di samping badanku. Air matanya jatuh satu satu. Dia berkali-kali membelai badanku yang telah tebujur itu.

Ketika Nenekku Meninggal

- Tidak ada komentar



Kelas 1 SD tahun 1972, telah tinggal di Asrama Gagalyon Kavaleri 8 Tank, terdengar info jika Nenekku wafat lewat telegram dari Kodim Manna Bengkulu Selatan. 

Orangtua ku diberikan izin cuti untuk pulang ke kampung hadiri Ibundanya yang sudah wafat. Saya yang masih tetap kelas 1 SD diajak untuk turut temani Bapakku ke arah Bengkulu. Berangkatlah saya ke arah Jakarta dengan Bapakku, dari Cililitan ke arah Tanjug Priuk. Perjalanan ke arah Bengkulu tidak segampang seperti sekarang ini. 

Dari kota Jakarta sebelum ke arah dermaga di bawa serta putar-putar kota Jakarta sampai waktu sore Kapal telah bertumpu di Dermaga Tangjung Priuk. Dermaga Merak belumlah ada waktu itu. Dari Tanjung Priuk ke arah Dermaga Panjang di Lampung. Turunlah di Pelabuahan Panjang yang tidak dipakai, sekarang ini untuk dermaga untuk Teritori peti kemas.

Dari Dermaga Panjang, meneruskan perjalanan dengan memakai kereta Api ke arah Stasiun Lubuk Linggau. Dari dalam kereta api saya bulak balik berjalan ke arah wc, sebab tidak berhati-hati jempol tangan kiriku terjepit pintu wc serta langsung menghitam, sakit rasa-rasanya, sebab salah sendiri jadi tidak menangis serta di tahan rasa sakitnnya. 

Perjalanan ke arah Bengkulu alami beberapa malam untuk dapat sampai di kampung halaman orangtua ku. Perjalanan harus melintas sungai yang belumlah ada jembatannya, mobil, sepeda semua di seberangkan lewat jembatan penyeberangan yang di Tarik oleh sebagian orang supaya sampai di seberang.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

Menginap di Lubuk Linggau serta besoknya meneruskan perjalanan lewat Muarainim Lahat serta sampailah di Bengkulu Selatan Kota Manna sore harinya. Sangat melelahkan sebab harus stop serta meneruskan perjalanan. 

Di kota Manna bermalam tadi malam untuk meneruskan perjalanan keesokannya. Di rumah saudara saya di jamu serta di potongkan ayam. 

Kendaraan ke arah kampung halaman tidak ada, pada akhirnya Bapakku serta saya bersepeda ontel ke arah Kedurang. Saya duduk di belakang, serta Bapakku mengayuh sepedah selama 40 km, untuk sampai di kampung halaman, serta seringkali istirahat. Sepeda didapatkan dari saudara yang berada di Kota Manna, entahlah di membeli atau di pinjamkan yang pasti sepeda itu sampai di kampung halaman.

Perjalanan dengan sepeda membuat ku ngantuk sebab tertiup angin sepeda yang menghembus, kadang-kadang di tegur oleh Bapakku. Saya tidak tahu seperti mana perasaan Bapakku saat itu. Saya masih kecil, kelas satu SD sesaat Ibu Orang tuaku yang sangat di cintai wafat serta harus tempuh perjalanan sampai beberapa malam. 

Perjalanan dari Kota Manna ke Kedurang jalannyanya belum sebagus sekarang ini, jalannya masih berbatuan serta seringkali dipakai untuk pelajan kaki serta gerobak yang di Tarik oleh Sapi atau Kerbau. Kiri kanan perkampunagn di Kedurang masih tinggi-tinggi tempat tinggalnya, masih takut jika ada harimau masuk kampung. Sekarang ini perumahan di Kedurang telah kekinian seperti perumahan di perkotaan, masih ada rumah panggung tetapi cuma beberapa lagi.

Juara Festival

- Tidak ada komentar



Lelaki itu badannya tambun. Tapi geraknya gesit serta luwes. Senyumnya merekah, ramah serta tenang. Ada tahi lalat di pipi kanannya. Kulitnya sawo masak. Tidak tampan, dan juga tidak buruk. Keseluruhannya ia nampak humble. Performanya enjoy, bersih serta trendy. Tetap kenakan kaos dengan topik. Sesuai situasi terbaru. 

Seperti sekarang ini, Juara kenakan kaos hitam dengan tulisan tagar: #LawanCorona. Begitu juga istrinya. Kaos itu entahlah membeli dimana, dirahasiakannya. Dari beberapa waktu ini telah sepuluh orang yang bertanya kaos itu. Selanjutnya semasing pesan kaos yang sama. 

Juara Festival, demikian ia dipanggil. Orang tuanya wafat saat umurnya baru sepuluh tahun. Juara juga selanjutnya turut neneknya yang buka toko di dalam rumah. Kakeknya telah lama tanpa. Ada susah serta kesendirian yang perlu dijamin, untuk seorang anak yatim piatu. Disamping itu ke-2 orang tuanya memberatkannya dengan nama yang tidak umum, Jadi Juara (baca Yadi Juara).

Lalu darimanakah nama Juara Festival itu berawal, ceritanya panjang.

Juara tinggal dalam suatu kluster terlepas yang cukup eksklusif. Tetapi dari 50 rumah yang ada disana tempat tinggalnya paling simpel. Masih rumah asli dari pengembang yang belum diperbaiki. 

Istrinya cantik, dua anaknya nampak kecukupan. Juara tidak miskin, tapi pun tidak nampak kaya. Walau sebenarnya kesemua orang tahu, orang yang tinggal di kluster itu tentu orang berpunya. Orang seringkali berpikir bingung. Istrinya tiap hari menyupir mobil box buluk, tua. Tapi satu waktu ada yang menyaksikannya bawa tas Dior keluaran paling baru.

Orang juga menanyakan, ia itu kaya atau miskin sich. Dari sini kearifan seorang juara bicara. Kearifan seorang bisnisman sejati.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

Dengan jaga jarak, tiap orang 2 mtr., antrean panjang itu bersumber di dalam rumah Juara. Satpam kluster sedikit kerepotan sebab antrean itu sampai ke jalan raya. Iyaa. Ini ialah musim menjaga jarak, tapi kemauan orang untuk beli disinfektan terus melonjak.

Istri Juara di muka rumah dengan kaos oblong #MelawanCorona serta celana jins sedang layani konsumen. Juara repot menulis suatu hal. Lalu ia hentikan antrean serta menempatkan karton itu pada dinding teras.

"Sebab jumlahnya keinginan, disinfektan harga naik, 30 ribu perbotol, hand sanitaizer, jadi 40 ribu perbotol. Tiap orang optimal beli 10 botol, ttd, Jadi Juara."

Antrean sama-sama melihat ke belakang mereka serta memperlihatkan kecemasan. Tetapi mereka masih bertahan serta tidak keluar dari antrean. Itu berarti mereka menyetujui harga yang diputuskan oleh Juara.

"Pah, stock masih cukup?" bertanya istrinya.

"Cukup buat ini hari, kelak sore akan dikirim lagi. Itu lima dus yang di mobil belum dikeluarkan."

"Ada yang nanyain vitamin C serta ekstrak jahe merah, kita dapat sediain tidak?"

"Lho kok vitamin C."

"Saya baca kabar tempo hari, untuk hindari virus seharusnya konsumsi vitamin c."

Mata Juara bersinaran.

"Oke, kelak saya contact rekan yang kerja di apotek."

Saat masih kecil, Juara bukan anak kecil yang kekurangan. Neneknya kaya, tapi bagaimana juga nenek ialah bukan orang tuanya. Jadi ia juga tidak bebas untuk meminta ini itu kepadanya.

Kebutuhan-kebutuhan sekolah dipenuhi oleh baik. Uang belanja ada, tapi terkadang Juara ingin suatu hal lainnya, yang tidak kemungkinan disebutkan pada nenek. Juara bukan anak yang mencolok di kelas. Nilainya tidak bagus, tetapi cukup untuk selalu naik kelas.

Dunia Kotanya Kita

- Tidak ada komentar



Di saat matahari ke arah tempat tenggelamnya, awan mulai menyemburat emas. Rona jingganya terkaca-kaca disamping gedung bertingkat. Nuansa lemas serta frustasi penuh keinginan terdengar melalui dentuman klakson kendaraan. Ditengah-tengah deru klakson jalan raya, suara alunan adzan maghrib. Terdengar sedikit meredamkan situasi muaknya kota. 

Tetapi di pojok kota itu, di bawah jalan layang seorang gadis, penjual koran terlihat nampak bahagia sekalian nikmati roti. Ada pula seorang anak lelaki yang mengetuk satu kaca mobil -- serta anak-anak yang lain berdompol dengan baju lusuh. Ada pula orangtua renta bertumpu di tembok bawah jembatan itu. Banyak tulisan di tembok itu, yang sangat jelas serta bisa dibaca ialah "DPR ANJING". 

Kemungkinan itu baru dibikin semalam, sebab umumnya tulisan yang semacam itu bertambah cepat hilang dibanding "Joni Love Dina" atau "Rojali Sayang Rere". Lampu merah menjadi hijau, klakson kendaraan mulai makin membombardir jalan raya itu, pekingnya jadi penyejuk orang kolong itu, tidak dapat -- saya juga turut menekan klakson sebab bus di depanku stop tiba-tiba. Kemudian arahku ialah cuma pulang serta tidur.

Meliuk-liuk dijalanan kota dalam senja dengan motor supra. Debu jalanan bercampur dari muka. Akulah pengendara jalan raya. Dari kota yang penuh derita senja yang ku katakan tersisa rona jingga yang dibaur merah muda serta sedikit violet meremang bersama-sama gelapnya malam. Berkendara sekalian lihat jalan raya ialah panorama indah. 

Di kota besar seperti kota ku ini, panorama waktu senja ialah panorama yang penuh nuansa frustasi, lemas, serta spiritual. Beberapa pengendara senang iba lihat orang yang mengadu nasib pada jalan raya walau sebenarnya belum pasti mereka semakin bahagia. Senyum sapa dari satpam penjaga perumahanku diberi buat melanggengkan bersilahturahmi masih terbangun.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

"Baru pulang, Don..."

"Iya, nih. Banyak kerjaan." Sekalian motor melalui polisi tidur dengan helm sedikit kacanya diangkat serta melihat mengarah satpam, saat itu juga melalui polisi tidur itu kaca helmku jatuh. Suara berisik motor belum diservice seperti suara kecrekan saat melalui polisi tidur. Entahlah kenapa namanya polisi tidur.

Sesampainya di kontrakan, betul saja. Sesudah mandi untuk beri kesegaran diri yang masih ada cuma indomie. Indomie kuah serta telur saya buat jadi menu yang sangat rasional saya makan malam hari ini. Tetapi sayang disayang, gas elpiji barusan habis. Untung saya masih punyai penanak nasi yang dapat saya buat jadi pilihan. 

Sedikit cukup lama menanti, konsumsilah saya dengan penuh rasa sukur. Dari pengendara jaln raya ke arah pengelana mimpi. Ku putuskan tidur sebab rasa kantuk yang terlalu berlebih dari pemikiran, putuskan saya supaya tidur jam sembilan malam.


Sirene dengan musik saluran death metal menggugah pagiku. Sesudah ku melihat androidku, ini hari ialah hari libur. Hampir tiap hari, saya dibangunkan dengan musik semacam ini. Tidak mengenal hari, intinya bangun pagi. Ku matikan sirene serta kulanjutkan tidur. Baru lima menit saja ku tinggal tidur, sirene sialan itu bunyi lagi. Kesempatan ini saya betul-betul bangun. Inilah hidup membujang, makan sendiri, tidur sendiri, dibangunkan juga sendiri. Ini hanya usaha menjadi mandiri.

Cerpen | Kisah Hujan Bulan Juni

- Tidak ada komentar



Lamat-lamat, kudengar bunyi cara menjauh dari ruangan tengah. Seperti umumnya, ayah membenci tetapi perlu kabar prediksi cuaca. Tidak lama, kumatikan tv. Kakiku selekasnya ikuti cara ayah ke teras. Hampir jam 1/2 sepuluh, malam itu.

Gemuruh angin ajak air hujan menjejaki hampir setengah lantai teras. Bersisa pojok sempit di dekat jendela. Ada kursi panjang tua memiliki bahan bambu kuning, tempat ayah nikmati kepulan asap kreteknya. Ayah berdiri, waktu melihatku.

"Telah 3 hari!"

"Kan, bulan juni, Yah?"

"Perutku, perut ibumu, perut ayahmu serta dua adikmu, tidak perduli kepentingan bulan!"

Saya terdiam. Tetapi mataku refleks bergerak ikuti puntung kretek yang dilemparkan jari tangan ayah ke halaman. Sekejap kulihat puntung itu terayun bersama-sama kubangan air hujan, sebelum musnah ke selokan.

Ayah menepuk bahuku perlahan. Sebelum bergerak perlahan-lahan kembali pada di rumah.

Saya kaget. Tubuhku selekasnya menghadap sumber suara. Ayah berdiri di pintu ruangan tengah. Matanya menatapku. Satu pergerakan perlahan dagu ayah, memaksaku bergerak memencet tombol off pada pojok kanan bawah tv hitam putih.

"Malam hari ini, tidak perlu dengar kabar!"

"Tetapi..."

"Kau tahu sepanjang hari barusan cerah, kan? Walau sebenarnya tadi malam, dikabarkan hujan."

"Namanya prediksi, Yah! Jadi..."

"Tidak perlu berikan, jika prediksi! Pedagang Es sepertiku perlu kejelasan!"

Katakan ibu, semenjak tadi siang, amarah ayah tersimpan di kamar tidur. Mengurung diri, ialah langkah ayah. Bila demikian, ibu akan merayu adik-adikku akan menjauh dari pintu kamar.

Untuk anak lelaki paling tua, saya ialah target paling mudah. Tidak perduli, bila saya baru pulang dari pabrik es. Kegiatanku sepulang sekolah. Ayah bergerak merapat ke arahku. Tangan kanannya terangkat, perlahan-lahan menyeka kepalaku.

"Kau telah makan?"

"Belum, Yah! Kan, baru pulang?"

"Konsumsilah!'

"Iya, Yah!"

"Esok Ayah harus jualan!"

Seperti hujan. Amarah ayah tidak dapat ditebak. Kadang dinanti tidak segera datang. Tetapi, ditengah-tengah sinar matahari jam satu, bisa tiba mendadak. Atau waktu butirannya mengucur deras menimpa, dapat selekasnya surut.

"Jangan bernada! Ibu ambilkan nasi, kau makan di teras saja!"

Ibu menyambut langkahku yang meloncati kubangan air di halaman. Ke-2 tangan yang mulai berkeriput itu, menarik perlahan tangan kanankumenuju kursi panjang tua di dekat jendela. Dua tangan tangan ini, mendesak bahuku minta duduk.

Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online

"Diamlah. Nantikan ibu di sini."

Ibu bergegas mengambil langkah ke rumah. Gerimis masih berjatuhan isi sunyi malam. Ibu kembali lagi ada dari balik pintu. Ke-2 tangannya berisi. Satu gelas air serta sepiring nasi.

"Konsumsilah, Nak!"

Piring serta gelas beralih tangan. Ibu berrgegas wafatkanku di teras, selanjutnya kembali lagi dengan segelas besar di tangan. Tidak ada kepulan asap nampak. Saya tahu, air teh itu bukan bagiku.

"Untukmu saja!"

"Ayah..."

"Baru saja pergi. Gerobak dihancurkan, gelas-gelas dipecahkan. Di masih amburadul. Ayahmu pergi dengan amarah!"

"Ya Allah! Mamas..."

"Tolong ambilkan handuk!"

1/2 lari, istriku masuk lenyap dari pintu. Serta tergesa ada kembali lagi, berupaya secepat-cepatnya menyekakan handuk ke mukaku. Kurebut handuk dari tangannya, sekalian menyerahkan kantong plastik hitam yang berada di tanganku.

"Ngopi atau teh, Mas?"

"Hanya itu!"

Sekalian tersenyum, telunjuk tangan kanan kuajukan mengarah kantong plastik hitam yang sudah beralih tangan. Sepintas kuusap kepalanya. Langkahku menyusul ke arah kamar mandi.

Saya ketawa serta mengambil duduk di samping istriku. Ke-2 tangannya repot menyalin lima bungkus es campur, ke semangkok besar di meja makan. Sekalian gelengkan kepala, wanita cantik itu menatapku.

"Kan, hujan, Mas?"

"Iya. Sudah tahu! Tetapi Mang Amin, tidak tahu jika hari akan hujan!"

Istriku tentu pahami perkataan itu. Mang Amin, hampir seumuran Ayah. gerobaknya semenjak jam sebelas sampai sore, tetap mangkal di muka kantorku. Tetap ada faktaku, hampir tiap hari bawa pulang dagangan Mang Amin. Ditambah lagi bila hari hujan. 

"Ibu?"

"Beliau di kamar. Barusan ingin shalat ashar."

Saya selekasnya bangun, mengambil langkah perlahan ke arah kamar ibu. Mataku memandang badan tua itu, masih duduk bersimpuh di atas sejadah. Perlahan-lahan muka ibu berpaling menatapku yang berdiri kaku di pintu. Mata tua itu, tidak cuma simpan belasan tahun cedera. airmata.

"Kau masih cari Ayah?"