Dukun ramal itu seharusnya tidak dibutuhkan lagi di jaman saat ini. Tidakkah segala hal dapat diperkirakan dengan nalar serta logika yang semakin logis! Jadi ramalan orang pandai seharusnya sudah dibuang.
"Apa faktamu, tidak yakin, ha?" Itu pertanyaan kakakku, salah satu keluarga yang masih tetap sisa.
Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saya cuma membisu. Entahlah. Saya memang tidak yakin pada ramalan orang pandai tapi insiden untuk insiden di keluargaku pas seperti kata wanita dukun di samping rumahku.
Wanita itu sendirian. Ia cuma ditemani beberapa anjing piaraan. Serta entahlah, semenjak kapan dia mulai tinggal bertetangga denganku. Yang kuingat, wanita itu menjelaskan ibuku akan pergi selama-lamanya. Itu disebutkannya satu minggu sebelum ibuku wafat.
Wanita itu yang menjelaskan ayahku tidak lama lagi akan membuat acara pesta perpisahan tandasan. Serta rupanya satu minggu setelah ucapannya itu, ayahku wafat terikut arus sungai yang membludak saat itu.
Sejak kami tinggal berdua dengan kakak, wanita samping rumahku itu seringkali tiba ke rumah. Wanita umur lima beberapa puluh itu mengharap supaya kami berteman dengannya.
Sebetulnya, kami tidak menampik. Ditambah lagi kakakku yang setiap saat pulang kerja terlihat kesepian. Dengan berkunjungnya wanita itu kakakku jadi nampak ruangan semangat. Bukan oleh wanita itu sebetulnya tapi semakin sebab kakakku senang bermain dengan anjing piaraannya.
Beda betul denganku. Saya tidak senang pada anjing. Sekalinya anjing-anjing piaraan wanita itu terlihat jinak, tapi saya tidak senang.
"Tidak apa-apa, coba raba bulu halusnya ini," kata wanita itu kepadaku sekalian mengelus anjing berbulu kecoklatan. Nency! Demikian, wanita itu menyebut anjing kecintaannya.
Kuperhatikan, Nency memang lain dengan anjing-anjing piaraan yang lain. Nency perangainya terlihat beda. Sorot matanya tajam. Bulunya lembut cemerlang bersih. Bila ditawari makanan, Nency tidak rakus. Tapi saya tidak senang.
"Ayolah, ini Nency ingin ikuti kamu! Lihat matanya, dia mengharap jadi teman dekatmu," kembali lagi wanita itu membujukku.
Saya masih bergerak. Sedikitpun saya tidak merapat. Tapi anjing itu malah menatapku sayu. Serta entahlah kemampuan apakah yang membuatku jadi turut menatapnya.
Perlahan-lahan, anjing itu mendekatiku. Serta cuma dalam hitungan detik, Nency sang anjing kecokelatan itu telah duduk di pangkuanku.
Kakakku yang ada di sampingku berusaha untuk menariknya supaya geser di pangkuanya tapi gagal. Saat Nency ditarik ke pangkuannya, waktu itu Nency meloncat kembali lagi kepadaku.
Dengan malas saya coba membelainya. Wow, bulunya lembut di tangan. Nency juga diam keenakan.
Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online
Manfaat Dan Keuntungan Baca Artikel Bola Online
"Nak, Dila saya titip Nency ya. Ia kelihatannya pas dengan kamu! Ibu ingin pergi. Tolong dirawat, ya!"
Lidahku kelu. Saya tidak dapat berkata apa saja. Mendadak saya tidak berkekuatan untuk menampik. Juga anjing itu betah saat dibiarkan oleh wanita itu.
Anehnya, cuma anjing kecoklatan namanya Nency yang lengket denganku. Anjing lainnya kembali lagi kerumahnya. Itu penyebabnya cuma dalam 3 hari saya serta Nency bisa berteman dekat.
Nency itu tidak sempat menggonggong. Dia tidak garang seperti anjing umumnya. Dia tidak buang kotoran asal-asalan. Entahlah dimana Nency melakukanya, tapi dalam 3 hari dengannya, saya tidak mendapatkan kotorannya tertinggal di dalam rumah.
Pas satu minggu Nency di dalam rumah bersamaku, ada kejanggalan yang kurasakan. Rupanya satu minggu wanita itu tidak bertandang seperti umumnya. Semakin aneh lagi, pagi hari ini.
Nency menarik-narik pakaian tidurku. Saat saya bermalas untuk selalu tidur, Nency makin agresif menarikku. Saya juga mengalah, selekasnya bangun serta mengambil langkah. Saya ikuti ke mana dia pergi.
Dengan tergesa, Nency ajakku masuk rumah wanita itu. Melalui pintu belakang karena pintu depan terkancing rapat. Ternyata, Nancy tahu itu. Serta begitu kagetnya saya katika Nency membimbingku dengan keluarkan suara seperti tangisan.
Wanita itu terbaring kaku. Mukanya teduh tidak lagi menegur saya. Ia wafat sesudah menitipkan Nency padaku satu minggu kemarin.
Pagi hari ini saya harus bersegera ke kebun. Saya harus lihat beberapa petak cabai yang siap diambil. Bila telat cabai itu akan membusuk.
Sebetulnya, saya tidak harus turun ke kebun sendiri. Ada 2 orang upahan yang membantu untuk memanen cabai itu. Tetapi, saya tetap harus mengawasi seperti pesan almarhum ayah dahulu.
Tapi, entahlah pagi hari ini rasa-rasanya berat sekali. Nency tetap mengganggu. Seringkali ia keluarkan suara seperti tangisan.
Ia duduk di muka pintu kamar mandi saat saya akan membersihkan muka. , dia duduk di muka pintu rumah saat saya akan membukanya. Ia tetap menghambat saya. Serta saat saya telah sukses buka pintu serta keluarkan sepeda, Nency lari ke pintu pagar. Dia menggonggong! Ini belum pernah berlangsung.
"Nency!"
Saya memarahi anjing manis itu. Ia selanjutnya menyingkir di samping pintu pagar. Sorot matanya ikhlas beradu dengan sorot mataku. Ia terlihat sedih dengan perlakuanku. Kulihat air matanya berguling. Nency menangis.
Saya tidak mempedulikannya. Sepeda kukayuh cepat telusuri jalan kampung ke arah kebun tempat kami menumpuk keinginan.
Di tikungan paling akhir, sebelum masuk kebun cabai saya harus waspada karena di kananku ada tebing menjulang, sedang di kiriku ada parit seperti kali. Kebun cabai kami berada di lembah bukit.
Waktu sepedaku menikung, mendadak Nency lari secepat kilat dari arah depan. Ia keluarkan suara lengkingan. Sepeda tidak pernah saya hentikan karena sebelum rem kutekan, kulihat bola tanah sebesar rumah menggelinding dari tebing ke arahku.
Serta entahlah apakah yang sebenarnya berlangsung. Cuma sesaat, kulihat beberapa orang kampung banyak yang datang. Mereka dengan cepat singkirkan tanah tebing yang roboh.
"Berhati-hati!"
"Itu terlihat tangannya!"
"Iya, itu tarik pelan-pelan."
Beberapa orang bergotong dengan semangat menyukai sama-sama. Mereka selanjutnya keluarkan badan dari puing-puing tebing tanah. Badan itu telah tidak bergerak. Napas juga tidak. Kulihat kepala serta wajahnya berlumur darah.
"Innalillahi... " terdengar lantunan trenyuh.
"Dila,..." kakakku menghambur menubruk badan berlumur tanah. Kakakku meraung tidak tertahan.
Nency, anjing itu, kulihat duduk di samping badanku. Air matanya jatuh satu satu. Dia berkali-kali membelai badanku yang telah tebujur itu.